Naskahlakon pada teater tradisional dituangkan dalam bentuk bedrip atau bagal cerita atau lakon bersifat garis besar dari adegan lakon yang akan di pentaskan. Lakon bersumber dari kisah-kisah roman, kisah 1001 malam (desik), kisah gambaran kehidupan sehari-hari, sejarah, legenda, babad, epos, dst. yang mengakar, tumbuh dan berkembang di tengah
Di dalam produksi teater berbasis bacaan, naskah drama atau kita tutur akrabnya dengan “naskah” saja, adalah pijakan utama dalam proses produksi. Banyak penonton teater juga mendasarkan keputusan menonton atau tak suatu pertunjukan bersendikan naskah yang diangkat. Cuma demikian, tak sukar kita mendapati satu pertunjukan nan mengerjakan sedikit modifikasi terhadap skenario yang dipanggungkan. Hak kreatif sutradara dianggap sepan kerjakan mengamalkan terbatas perubahan dialog, bahkan kawin babak demi tercapainya sebuah pementasan yang lebih kontekstual maupun makin baik dalam sudut pandang tertentu. Di Indonesia, hal begini sedekat pengamatan saya masih dianggap kejadian nan biasa. Ya, Kreativitas sutradara memang utama dan patut dijunjung. Namun demikian, praktik modifikasi naskah sandiwara boneka ini seringpula tidak dilakukan atas persetujuan notulis. Sepertinya, penulis skrip dianggap sudah selesai pekerjaanya sejak naskah diberikan ke sutradara ataupun khalayak, sehingga perwujudan naskah ke atas panggung bukan pula kepunyaan kreatif si penulis. Bahkan, melakukan aplikasi ijin atau setidaknya konfirmasi kepada pencatat naskahpun banyak nan bukan semacam ini sepertinya dianggap bukan masalah di Indonesia. Setau saya, saya belum aliansi mendengar notulis naskah senior sebagai halnya Putu Wijaya atau Tepi langit Riantiarno, mengeluh karena naskahnya dimainkan tanpa ijin. Bisa jadi ini pun demi membangkitkan hidup berkarya arena, sehingga hal-hal yang menghambat proses dikesampingkan dulu. Namun demikian, ada bilang pencatat yang rangkaian berusaha menegakkan haknya sebagai penyalin. Sebut namun WS Rendra yang menuntut penyetoran royalti tertentu apabila naskah karya ia dimainkan makanya keramaian atau seniman lain di luar kelompoknya. Saya koteng pernah menyedang melakukannya. Meski naskah karya saya baru sebatas hitungan deriji satu tangan, namun saya menyedang mengunggah tulisan tangan saya ke internet dengan mencantumkan email dan nomer HP disertai permohonan agar barangkali tetapi nan akan menggunakan tulisan tangan saya terlebih lewat menghubungi saya. Tentu banyak yang kemudian bersedia mengabari saya lebih dulu. Biasanya saya akan meminta sagu hati sebesar 10% dari jumlah karcis yang terjual. Tentu saja saya bersedia di”nego” dan hasilnya seringpula mereka menyatakan tidak bernas menggaji royalti karena kapitalisasi nan minim dan hasil penjualan tiket digunakan lakukan menutup biaya artistik dan produksi. Saya tidak keberatan jika memang demikian sedikit menggondokkan pertautan saya alami juga. Suatu kali seorang sutradara berasal seberang pulau menghubungi saya dan berniat memproduksi pertunjukan teater menggunakan naskah saya. Namun, berkaitan dengan pendanaan yang belum sejenis itu aman, ia menego untuk hanya membayar sagu hati dengan jumlah karuan sekian ratus ribu. Sayapun bersedia mengijinkan dan menyepakati nilai imbalan nan dijanjikan. Semata-mata, bulan-demi bulan berikutnya tidak ada kabar. Setakat suatu saat saya “browsing” dan menemukan berita online adapun telah suksesnya tontonan kelompok tersebut. Lalu saya mengontak sutradaranya bikin menagih janji. Namun, jawabannya ialah mereka lain akan membayar royalti kepada saya, karena dua hal. Satu, secara keuangan tim produksi mengalami kemalangan sekian desimal juta karena gagalnya sponsorship. Dua, ini yang terka bikin panas hati, beliau mengatakan “Tidak Jadi” mengaryakan naskah saya, tetapi membuat skrip bau kencur nan didasarkan pada naskah saya. Sedangkan dari bilang berita online yang saya baca, jelas-jelas sinopsisnya sama, hanya mereka menambah beberapa adegan opening dan melakukan modifikasi lakukan mengkontekstualkan dengan persoalan di daerah mereka. Dan lagi, segel-nama biang kerok yang mereka pentaskan tetap sama seperti mana nama-segel tokoh dalam skrip saya tersebut. Ketimbang meributkan ratusan ribu tersebut, saya putuskan cak bagi “ya telah kalao begitu.”Terimalah, praktik memodifikasi naskah sebagai halnya ini menjadi terasa “problematis” karena terkait urusan “doku” P. Provisional mungkin saya tidak mempersoalkan modifikasi tulisan tangan saya ini andai saja tak membentuk batalnya perjanjian ini, saya membaca sebuah artikel tentang praktik pengubahan naskah dan kaitannya dengan hoki cipta di Amerika Sertikat. Berikut saya sampaikan tafsiran versi saya. Semoga menjadi bahan teks kita di Jogja dan dari kata sandang Knowledge Base di website AACT American Association of Community Theatre. PENGUBAHAN NASKAH? Undang-undang Oktroi mewajibkan permohonan ijin. Berikut caranya sepatutnya berhasil. Tidaklah aneh untuk sutradara yang menjadikan naskah ibarat titik pijaknya–membolehkan bilang pengubahan yang teradat mudahmudahan supaya pementasan kian memadai bagi lokasi, aktor dan penontonnya. Mereka bisa doang ki memenungkan untuk menyelit dialog, mengganti jenis kelamin otak terdepan, atau nama tokohnya, mengatak ulang lokasi peristiwa atau kurun tahun, atau menghilangkan istilah alias bahasa tertentu. Dengan karya-karya Shakespeare tentu enggak ada masalah–karya-karyanya sudah terjadwal public domain milik awam. Namun sekiranya naskah atau terjemahan versi baru terbit naskah lama dilindungi oleh UU Hak Cipta, tidak satupun pengubahan itu dibolehkan sonder ijin tertulis berpangkal pencatat atau yang mewakilinya rata-rata penerbit atau bentuk agen lisensi. Bilang penulis skenario persisten menolak pengubahan lega karya mereka. Doang, banyak pula yang sedikitnya bersedia menimang-nimang kemungkinannya–jika Dia melakukannya dengan bermoral. Pengenalan-pembukaan yang hilang UU Hak cipta lahir berpokok konsep asal bahwa penulis memiliki peruntungan untuk meminta agar karya mereka dipresentasikan sebagaimana ia ditulis dan dimaksudkan. Tak mengacuhkan syariat dapat menempatkan sebuah kelompok teater kepada masalah. Pada 2003, sebuah dinner theatre teater berpentas di resto dan mengiringi acara bersantap-pena di Utah, memulai produksi dari naskah Neil Simon, Rumors. Hanya, saat banyak kata-kata cemar dihilangkan dari dialog, seorang pemeran yang bukan puas melaporkannya kepada Samuel French Inc., yang mutakadim memberikan lisensi pergelaran tersebut atas stempel Simon. Setelah mendapatkan teguran dari pengacara Simon, bahwa mereka harus mementaskan skenario seperti catatan aslinya, akhirnya kelompok ini memintal bikin membatalkan produksi daripada melanjutkan dan bentrok dengan barometer etika kesopanan. Penutupan produksi ini telah membuang biaya sebesar $ dan tak menyisakan modal untuk melanjutkan kegiatan mereka. Sebuah produksi Steel Magnolias di Memphis 1996 terancam detik seorang aktor pria dijatah memerankan penata rambut bernama Truvy. Dramatist Play Service, yang memegang lisensi atraksi atas segel Robert Harling sang panitera, menunangi produser kerjakan mengganti pemeran itu dengan aktor dara, maupun mereka akan kehilangan ijin pementasan. “Saya sungguh-sungguh mengimani dan mendukung hoki setiap orang untuk independensi ekspresi artistik,” kata Harling kepada New York Times. “Steel Magnolias, yakni ekspresi astistik saya, dan adalah hoki saya untuk berkeras hati bahwa tokoh perempuan itu harus dimainkan makanya amoi. Konsep berpangkal naskah ini berlatar sebuah salon kemolekan, dimana menunggangi seorang pria bagi menggambarkan perempuan adalah ide yang buruk,” tambahnya. “Jika itu merupakan ekspresi artistik hamba allah lain, maka saya harap mereka menggambar naskah sendiri secepatnya mungkin.” Kejadian serupa beberapa waktu sebelumnya, katib naskah Edward Albee menghentikan sebuah produksi Who’s Afraid of Virginia Woolf? yang menyodorkan jodoh homoseksual. “Seluruh salinan naskah saya” katanya internal sebuah pernyataan press, “memiliki beberapa klausul yang mengatakan bahwa ia harus dipentaskan tanpa adanya pengubahan, ataupun pengurangan, ataupun penambahan dan harus dipentaskan oleh aktor dengan jenis kelamin sebagai halnya ditulis n domestik tulisan tangan. Memang ada hak bernas penyutradaraan, belaka itu bukan hak untuk menyimpang berpokok naskah.” Beberapa aspek intern galur, ia menekankan, sama dengan histeria terungkapnya kehamilan dari salah satu tokoh, membentuk versi homoseksual akan jadi jenaka. Tentatif banyak sutradara berargumentasi tanya kebebasan artistik mereka, kalimat dalam kontrak lisensi sudah jelas–Dilarang mengubah sonder ijin. Edward Albee. Foto Ini semestinya dipahami bahwa jika sejumlah produksi di atas mutakadim dipentaskan dengan pengubahan tanpa ijin, maka penalti denda bisa dijatuhkan kepada sutradara atau produser pemegang keputusan pengubahan tertulis seluruh staf produksi, pemeran dan kru–bahkan pihak pengelola gedung–dengan maupun minus sepengetahuan mereka bahwa telah menjadi bagian dari upaya pengingkaran hukum. Mintalah, kamu akan mendapatkan Sementara sejumlah penulis, termasuk Simon dan Albee, secara masyarakat menolak pengubahan naskah, bilang nan lain makin akomodatif. Nyatanya, banyak penerbit/agen lisensi nan berbincang dengan kami mengatakan bahwa mereka menghimbau para sutradara untuk mengabari mereka di tadinya perencanaan produksi seandainya mereka berkehendak mengubah skrip, karena mereka mungkin sekadar bisa mengakomodir. “Selalu mintalah,” kata seseorang, “apa susahnya menunangi.” Langkah permulaan adalah menelepon alias menugasi piagam ke penerbit/perwakilan yang memegang lisensi naskah, dan sampaikan permintaan sedetil kelihatannya. Jangan saja batik “menyela sedikit” dari adegan 1, atau “menidakkan beberapa dialog dari adegan kedai.” Detilkan halaman, kalimat dan kata mana yang cak hendak diubah. Ini terbukti lega produksi Evergreen di Green Bay, Wisconsin. “Beberapa waktu lalu kami ingin membuat pengubahan pada Peter Pan and Wendy, kami meminta ijin melampaui Playscripts,” kata Gretchen Mattingly bersumber Evergreen. “Sutradara merasa pertunjukan ini, jika sesuai naskah, terlalu panjang lakukan pirsawan taruna kami. Kami lewat jelas dan detil soal mana nan mau kami potong–tokoh nan terkait, kalimat dan nomor halaman–dan bukan mengubah silsilah cerita. Playscripts habis mengontak perekam naskahnya–Doug Rand–dan mendapat persetujuan darinya sebelum jadwal pelajaran dimulai. Rand, merupakan salah suatu terbit banyak notulis masa kini nan melenggong pada daya kreasi tertentu buat mengubah sedikit dari karyanya–selama tuntutan ijin diajukan dimuka. Puas Oktober 2010, ia menghadiri Milwaukee’s Firts Stage Children’s Theatre nan semenjana mementaskan Peter Pan and Wendy dengan menambah beberapa pemeran Lost Boys. “Saya suka ada lebih banyak”, ia berkata pada para pemeran. “Dan nama mereka–Pockets and Bumbershoot–itu keren!” Dan ketika kelompok Curtain Call di Stamford, Connecticut sedang menyiapkan produksi Nunsense dua masa lalu, Direktur Eksekutif Lou Ursone melihat bahwa ide slide show “Nunsmoke” bagaikan unsur parodi berpunca “Gunsmoke” ialah kuno. “Ide saya yakni menggantinya dengan video “Project Nunway,” ujarnya.”Saya menulis surat ke penulisnya, Dan Goggin untuk meminta persetujuannya, dan ia dengan sangat bijak menyetujui–dan menyukai risikonya.” Bahkan jika penulis sudah meninggal seklalipun, akomodasi untuk pengubahan bisa dilakukan dalam hal tertentu. Sebagai model, Rick Kerby dari Manatee Players di Bradenton Florida, menghubungi pihak Music Theatre International untuk mengubah skenario musikal baseball klasik Damn Yankees. “Bradenton merupakan lokasi kandang kwartir lakukan Pittsburgh Pirates di kejuaraan masa dingin”, ia menjelaskan, “dan kami mujur ijin bagi mengganti tim underdog kerumahtanggaan skrip adalah Washington Senators menjadi Pirates. Ini akan memepas sponsorship yang bagus dari tim Pirates–mereka bahkan memberi kami seragam Pirates bikin dipakai dalam pementasan dan mengirim merchandise maskot Pirates kerjakan kegiatan promo pra pertunjukan kami.” Pertunjukan Damn Yankees nan mengganti Washington Senators menjadi Pittsburg Pirates. Foto Siapa yang melaporkan? Sira bisa jadi berpikir, “Tapi banyak orang kukuh melakukan pengubahan sonder ijin selama ini.” Itu moralistis, tapi jumlah yang tak juga tidak kalah mengejutkan. Keseleo satu alasannya adalah karena rangka-lembaga / agen lisensi dan royalti menggaji petugas untuk mengintai daftar gerombolan teater, artikel dan website yang drastis. Produksi Steel Magnolias di Memphis nan ditolak misalnya, adalah hasil temuan berasal publisitas kelompok itu sendiri. Tetapi, banyak kasus pelanggaran malar-malar dilaporkan makanya pemeran atau kru-nya sendiri–seperti mana kasus produksi karya Neil Simon, Rumors di Utah–atau seseorang berpangkal keramaian jodoh, atau seseorang yang terpanggil secara kepatutan buat melaporkan situasi demikian. “Saya pernah mendapat dua kali panggilan bersumber penerbit yang menanyakan tentang pertunjukan kami,” tulis John Davis dari Evergreen Players, sebuah kelompok teater boncel di Colorado. Keduanya berjarak nyata untuk kelompok kami. Panggilan permulaan merujuk pada permakluman bahwa sutradara kami mutakadim menambah pemeran tangan kanan dan beberapa bahasa tambahan. “Saya jelaskan bahwa bahkan kami n kepunyaan dua turunan memainkan episode kecil, mereka enggak asosiasi berada dalam suatu panggung bersamaan dan tidak ada adendum bahasa,” prolog Davis. “Hal itu memuaskan pihak penerbit. Belakangan ini kami tahu bahwa panggilan tersebut berawal berasal laporan terbit sendiri pemeran nan tidak puas karena kami lepaskan pecat.” Panggilan lainya ialah tentang pemeran adam nan memerankan tokoh perempuan dan sebaliknya. Pelanggaran yang tak disengaja ini menambah perasaan Davis setelah produksi dihentikan. Untungnya, karena koneksi kerja yang baik antara gerombolan teater dan lembaga lisensi, tidak cak semau denda nan dijatuhkan setelah kelompok teaternya meminta izin atas kesalahan dan berjanji tidak akan mengulang kesalahan nan sama. “Kerumahtanggaan kedua kasus,” catat Davis, “penerbit sangat sopan dan membantu.” Kesimpulan akhir Pengubahan naskah artinya, dalam kejadian konsentrat, batik ulang karya penulis dan kamu kali merespon dengan “Jangan memainkan karya yang diklaim laksana karya saya, kalau memang bukan.” Syariat tambahan, kemudian, garis bawahnya merupakan mendukung visi artistik penulis. Itu sebagaimana pandangan Lou Ursone dari Curtain Call Connecticut. “Kami mementaskan apa yang ditulis. Kami tidak mengganti bahasa yang “kotor”, kami enggak menghilangkan “nudity” adegan telanjang, kami mengagungkan penulis nan karyanya kami pilih untuk diproduksi. Aturan singkat berasal tiga penerbit / pemegang lisensi. Samuel French Naskah harus dipentaskan sebagaimana adanya dalam rencana yang diterbitkan dan harapan penulis dihormati dalam produksi. Tidak suka-suka pengubahan, penyisipan, ataupun penghilangan kalimat, lirik, musik, judul ataupun jenis kelamin tokoh yang dibuat untuk kelebihan produksi. Ini termasuk pengubahan atau penyesuaian parasan periode dan tempat n domestik tulisan tangan. Mengacu plong pengubahan jenis kelamin, lelaki akan memainkan motor adam dan putri memainkan dedengkot kuntum. Mohon Dicatat masing-masing kepala karangan ditimbang secara terpisah dan jikalau Engkau mau melakukan pengubahan lega skenario harus meminta ijin tersurat. Tidak semua penulis atau perwakilan dabir mengijinkan pengubahan. Dramatist Play Service Naskah-naskah harus dipentaskan sebagaimana yang dipublikasikan maka itu Dramatist Play Service Inc. tanpa pengubahan, penambahan, penggantian alias penghapusan lega referensi dan kop. Larangan ini meliputi, tanpa perkecualian, lain mengganti, memperbaharui atau mencocokkan waktu, latar atau ajang n domestik naskah dalam bentuk apapun. Jenis kelamin inisiator pula bukan diperkenankan diubah ataupun ditukar dengan cara apapun, misalnya kostum atau pengubahan bodi. Music Theatre International Ketika Kamu mendapatkan lisensi pergelaran, berdasarkan hukum pertunjukan tersebut harus dipentaskan sama dengan adanya. Engkau tidak berwajib melakukan pengubahan apapun kecuali mendapatkan ijin tertulis mulai sejak kami. Jika tidak, pengubahan akan merebeh eigendom cipta penulis dibawah Undang-undang Hak Cipta Pemerintah Federal. Tanpa ijin resmi MTI, tindakan Engkau akan mengangkut Anda kepada petisi –tidak cuma dari perekam, tapi juga semenjak kami–atas pelanggaran terhadap syarat-syarat intern permufakatan lisensi yang dengan jelas melarang Beliau mengamalkan pengubahan atau pemangkasan. Terkadang, versi baru berusul pertunjukan dibuat saat penulis atau orang lain yang disetujui penulis merekonstruksi karya tersebut. Namun bagaimanapun, hanya dabir yang memiliki hak melakukan revisi, dan mereka jarang menerimakan ijin kepada pihak lain untuk melakukannya. Jika Anda merasa cak hendak menyedang mengerjakan pementasan hasil rekonstruksi pembaruan, ada banyak naskah public domain Shakespeare, Gilbert and Sullivan yang sudah tidak lagi dilindungi Undang-undang Hak paten Amerika Sindikat. Padalah, demikian kata sandang nan saya ambil dan saya terjemahkan mulai sejak website American Association of Community Theatre. Mana tahu bisa menjadi wacana dan sasaran bagi diobrolkan dalam berbagai kesempatan bersama komunitas dan seniman kolega Sira. Naskahatau lakon harus dibuat terlebih dahulu karena perannya sangat penting dalam sebuah pertunjukan teater. Naskah ini akan memberi batasan kepada sutradara dan pemain serta untuk penyesuaian panggung dan latar. 2. Pemain Pemain adalah orang-orang yang akan memerankan tokoh yang ada dalam naskah. Pemilihan pemain yang sesuai dengan naskah Naskah Lakon Dari Sebuah Teater Modern Indonesia Naskah Lakon Dari Sebuah Teater Modern Indonesia pertama yang menggunakan bahasa Indonesia adalah Bebasari karya Rustam Effendi, seorang sastrawan, tokoh politik, yang terbit tahun 1926. Naskah lakon sebelumnya ditulis dalam bahasa Melayu-Tionghoa, bahasa Belanda, dan bahasa Daerah. Kemudian, muncul naskahnaskah drama berikutnya yang ditulis sastrawan Sanusi Pane, Airlangga tahun 1928, Kertadjaja tahun 1932, dan Sandyakalaning Madjapahit tahun 1933. Muhammad Yamin menulis drama Kalau Dewi Tara Sudah Berkata tahun 1932, dan Ken Arok tahun 1934. Pandji Tisna menulis dalam bentuk roman, Swasta Setahun di Bedahulu. Bung Karno menulis drama Rainbow, Krukut Bikutbi, Dr. Setan, dan lain-lain. Tampak di sini, bahwa naskah drama awal ini tidak hanya ditulis oleh sastrawan, tetapi juga oleh tokoh-tokoh pergerakan. Sumpah Pemuda di Jakarta, yang memproklamirkan kesatuan bangsa, bahasa dan tanah air Indonesia pada 28 Oktober 1928, telah menginspirasi lahirnya Poedjangga Baroe, tahun 1933, majalah yang banyak melahirkan sastrawan dan kegiatan sastra, baik roman, puisi, cerita pendek, naskah lakon, maupun esai dari Naskah Lakon Dari Sebuah Teater Modern Indonesia. Kehidupan Teater Modern Indonesia baru menampakkan wujudnya setelah Usma Ismail menulis naskah lakon yang berjudul Citra tahun 1943. Naskah lakon yang ditulis oleh Usmar Ismail bukan bertema tentang pahlawan-pahlawan epik atau tentang para bangsawan, melainkan tentang kehidupan sehari-hari atau tentang manusia Indonesia yang sedang menggalang kekuatan menuju pecahnya revolusi. Grup Sandiwara Penggemar Maya yang didirikan oleh Usmar Ismail bersama D. Djajakoesoema, Surjo Sumanto, Rosihan Anwar, dan Abu Hanifah pada tanggal 24 Mei 1944, sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan Teater Modern Indonesia di tahun 1950. Terlebih setelah Usmar Ismail dan Asrul Sani berhasil membentuk ATNI Akademi Teater Nasional Indonesia pada tahun 1955. ATNI banyak melahirkan tokoh-tokoh teater, di antaranya Wahyu Sihombing, Teguh Karya, Tatiek Malyati, Pramana Padmodarmaja, Kasim Achmad, Slamet Rahardjo, N. Riantiarno, dan banyak lagi. Kemudian, sebagian menjadi penulis naskah lakon Indonesia. Setelah ATNI berdiri, perkembangan teater dan naskah lakon di tanah air terus meningkat, baik dalam jumlah grup maupun dalam ragam bentuk pementasan. Grup-grup yang aktif menyelenggarakan pementasan di tahun 1958-1964 adalah Teater Bogor, STB Bandung, Studi Grup Drama Djogja, Seni Teater Kristen Jakarta, dan banyak lagi, di samping ATNI sendiri yang banyak mementaskan naskah-naskah asing seperti Cakar Monyet karya Jacobs, Burung Camar karya Anton Chekov, Sang Ayah karya August Strinberg, Pintu Tertutup karya Jean Paul Sartre, Yerma karya Garcia Federico Lorca, Mak Comblang karya Nikolai Gogol, Monserat karya E. Robles, Si Bachil karya Moliere, dan lain-lain. Naskah Indonesia yang pernah dipentaskan ATNI, antara lain Malam Jahanam karya Motinggo Busye, Titik-titik Hitam karya Nasjah Djamin, Domba-domba Revolusi karya B. Sularto, Mutiara dari Nusa Laut karya Usmar Ismail dan Pagar Kawat Berduri karya Trisnoyuwono. Teater Modern Indonesia semakin semarak dengan berdirinya Pusat Kesenian Jakarta di Taman Ismail Marzuki, yang diresmikan pada 10 November 1968. Geliat teater di beberapa provinsi juga berlangsung semarak. Terlebih setelah kepulangan Rendra dari Amerika dengan eksperimeneksperimennya yang monumental, sehingga mendapat liputan secara nasional, seperti Bib Bob, Rambate Rate Rata, Dunia Azwar, dan banyak lagi dalam Naskah Lakon Dari Sebuah Teater Modern Indonesia. Kemudian, Arifin C. Noer mendirikan Teater Ketjil; Teguh Karya mendirikan Teater Populer; Wahyu Sihombing, Djadoek Djajakoesoema, dan Pramana Padmodarmaja mendirikan Teater Lembaga; Putu Wijaya Mendirikan Teater Mandiri; dan N. Riantiarno mendirikan Teater Koma. Bentuk naskah lakonnya tidak hanya untuk pertunjukan presentasional, tetapi juga representasional. Semaraknya pertumbuhan Teater Modern Indonesia dilengkapi dengan Sayembara Penulisan Naskah Drama dan Festival Teater Jakarta, sehingga keberagaman bentuk pementasan dapat kita saksikan hingga hari ini. Kemudian, kita mengenal Teater Payung Hitam dari Bandung, Teater Garasi dari Yogyakarta, Teater Kubur dan Teater Tanah Air dari Jakarta, dan banyak lagi. Grupgrup teater tersebut mempunyai bentuk-bentuk penyajian yang berbeda satu sama lain yang tidak hanya mengadopsi naskah lakon dari Barat, tetapi dengan menggali akar-akar teater tradisi kita dalam penulisan naskah lakonnya. Baca Juga Improvisasi Dan Karakter Dalam Pemeranan Dari Sebuah Teater Modern Latihan Teknik Pemeranan Dalam Seni Teater Modern Cara Bepemeranan Dari Sebuah Seni Teater Modern Demikian Artikel Naskah Lakon Dari Sebuah Teater Modern Indonesia Yang Saya Buat Semoga Bermanfaat Ya Mbloo Artikel Terkait Pengertian Lukisan Dan Aliran Gaya Lukisan Prosedur Dalam Merangkai Dari Sebuah Gerak Tari Kreasi Kolaborasi Seni Dalam Permainan Musik Jenis - Jenis Dari Sebuah Berkarya Seni Teater Jenis Jenis Dari Sebuah Lagu Modern StrukturNaskah Lakon Teater. Aristoteles yang membagi naskah menjadi lima bagian besar, yaitu eksposisi (pemaparan), komplikasi, klimaks, anti klimaks atau resolusi, dan konklusi ( catastrope ). Kelima bagian tersebut pada perkembangan kemudian tidak diterapkan secara kaku, tetapi lebih bersifat fungsionalistik. 2). Penyusunan Dalam Naskah Lakon Teater Modern Indonesia Pertama yang harus kita lakukan adalah Penyusunan Dalam Naskah Lakon Teater Modern memilih dan menentukan tema, yaitu pokok pikiran atau dasar cerita yang akan ditulis. Saat memilih dan menentukan tema, harus mengingat kejadian/ peristiwa yang dalam pertunjukan dinyatakan sebagai laku atau action dan motif, yaitu alasan bagi timbulnya suatu laku atau kejadian/peristiwa. Kejadian/peristiwa dari laku harus diterangkan melalui rangkaian dan totalitas sebab-akibat. Timbulnya motif sebagai dasar laku merupakan keseluruhan dari rangsang dinamis yang menjadi lantaran seseorang mengadakan tanggapan. Dasar timbulnya motif, adalah kecenderungankecenderungan dasar yang dimiliki manusia, kecenderungan untuk dikenal, untuk mengejar kedudukan, dan lain-lain, yang disebabkan oleh keadaan fisik dan status sosialnya. Juga disebabkan oleh sifat-sifat intelektual dan emosionalnya. Setelah memilih dan menentukan jalan cerita yang akan ditulis, langkah selanjutnya adalah merumuskan intisari cerita yang disebut premise. Apabila premise digunakan sebagai dasar ide/ gagasan, kita akan mendapat pola cerita, ke arah mana tujuan cerita yang kita tuangkan dalam bentuk naskah lakon. Apabila kita menyeleweng dari arah yang telah ditentukan, maka kita tidak akan sampai pada tujuan dalam Penyusunan Dalam Naskah Lakon Teater Modern. Sebagaimana yang tersurat dan tersirat di dalam premise. Premise yang kita tentukan akan teruji dan terbukti kebenarannya jika kita sampai pada titik tujuan, titik akhir lakon. Oleh karena itu, kita harus benar-benar yakin akan premise yang telah ditentukan. Jangan menulis sebuah lakon yang premisenya masih kita sangsikan sendiri! Misalnya kita menentukan premise, siapa yang menggali lubang akan terperosok sendiri ke dalamnya. Bagaimana dengan kebenaran premise itu? Yakinkah kita? Nah, kalau kita yakin, kita harus berpegang pada premise itu, sehingga kita akan terhindar dari bahaya kerja yang meraba-raba. Kalau premise yang kita tulis ternyata sama dengan premise naskah lakon tertentu, kita jangan kecil hati karena hasil tulisannya akan berbeda. Pengolahannya pasti akan berbeda dengan naskah lakon yang sudah ada di Penyusunan Dalam Naskah Lakon Teater Modern. Misalnya, naskah lakon “Jayaprana dan Layonsari” dari Bali, premisenya sama dengan naskah lakon tragedi “Romeo & Juliet karya Williams Shakespeare, tetapi kedua naskah lakon tersebut berbeda. Sebagai akhir uraian tentang premise, baiklah kita kemukakan kenyataan bahwa tidak ada lakon yang baik tanpa premise. Oleh karena itu, kita sebutkan beberapa contoh • “MACBETH” karya Williams Shakerpeare Premise “Nafsu angkara murka membinasakan diri sendiri”. • “TARTUFFE” karya Moliere Premise “Siapa menggali lubang untuk orang lain, akan terjerumus sendiri ke dalamnya”. • “RUMAH BONEKA” karya Hendrik Ibsen Premise “Tiada keserasian dalam pernikahan akan mendorong perceraian”. • “DEAD END” karya Sidney Kingsley Premise “Kemiskinan mendorong kejahatan”. • “API” karya Usmar Ismail. Premise “Ambisi angkara membinasakan diri sendiri” Baca Juga Naskah Lakon Dari Sebuah Teater Modern Indonesia Improvisasi Dan Karakter Dalam Pemeranan Dari Sebuah Teater Modern Latihan Teknik Pemeranan Dalam Seni Teater Modern Demikian Artikel Penyusunan Dalam Naskah Lakon Teater Modern Indonesia Yang Saya Buat Semoga Bermanfaat Ya Mbloo Artikel Terkait Latihan Bernyanyi Lagu Modern Dengan Gaya Yang Tepat Jenis Irama Dasar Dari Sebuah Seni Musik Barat Kegiatan Evaluasi Dalam Pameran Seni Rupa Jenis - Jenis Dari Sebuah Pertunjukan Musik Barat Pelatihan Pemeran Dalam Rancangan PementasanNaskahLakon Dari Sebuah Teater Modern Indonesia Naskah Lakon Dari Sebuah Teater Modern Indonesia pertama yang menggunakan bahasa Indonesia adalah Bebasari karya Rustam Effendi, seorang sastrawan, tokoh politik, yang terbit tahun 1926. Naskah lakon sebelumnya ditulis dalam bahasa Melayu-Tionghoa, bahasa Belanda, dan bahasa Daerah. Kemudian, muncul naskahnaskah drama berikutnya yang ditulis